Eksotisme (sehatnya) beras tumbuk | Alu dan lumpang batu

Beberapa tahun yang lalu aku masih sempat mencicipi beras tumbuk ketika pulang kampung ke Malang. Ada sebuah lumpang batu dan alu warisan dari jaman ketika selep (mesin giling padi) masih jarang. Alu dan lumpang batu adalah salah satu perkakas yang paling panjang masanya dari sejak jaman prasejarah sampai saat ini masih banyak dijumpai keberadaannya.

Waktu itu ibuku masih cukup kuat untuk menumbuk padi sekitar 4-5 kilogram. Suara dug…dud…dug dari tumbukan alu, gabah dan lumpang menghasilkan alunan bunyi ritmis yang menentramkan. Kini lumpang batu itu hanya dipakai untuk menumbuk jemblem/bandem (makanan dari singkong kukus lalu ditumbuk, dibentuk bulat sekepalan tangan, diisi gula jawa dan digoreng lagi) saja.

Lumpang batu (sumber: tamankawakkawak.blogspot.com)

Beras tumbuk tampilannya memang kurang bersih (putih) karena masih adanya kulit ari padi yang tersisa. Kulit ari beras (bekatul) ini justru yang banyak mengandung vitamin B1 dan nutrisi mikro lainnya. Selain itu kulit ari padi membuat beras tumbuk terasa lebih gurih. Apalagi jika yang berasnya adalah dari jenis padi lokal/tradisional yang tinginya mendapai 1 meter dengan masa tanam 6 bulan.

Padi jennis lokal/tradisional (sumber: http://agrobog.wordpress.com/2008/03/13/hello-world/)

Mengingat beras yang kita konsumsi sekarang sangat bersih sampai menghilangkan kulit arinya maka proses pencucian sebelum masak harus minimal. Jika kita mencuci beras terlalu bersih maka akan hilang semua kulit ari beras. Proses pencucian yang kita lakukan adalah sekedar menghilangkan debu atau kotoran-kotoran lain yang akan mengambang. Karena itu sebelum dimasak beras cukup dicuci sekali dan diaduk pelan-pelan saja.

Sampai dengan masa 90-an, di kampungku masih ada beberapa orang yang menanam jenis padi lokal. Padi jenis ini pemanenanyna dengan cara dipotong dengan ani-ani (pisau khusus untuk memotong batang padi). Pemotongan dengan ani-ani ini adalah salah satu bentuk rasa sayang petani terhadap padi yang konon adalah penjelmaan dari Dewi Sri. Karena itu pemotongan padi dengan sabit adalah tabu.

Ani-ani atau etem (sumber: http://rokhani.staff.ipb.ac.id/)

Padi lokal tidak memerlukan karung dalam pemanenannya karena bulir padi tidak langsung dirontokkan. Sementara itu batang padi yang panjang memungkinkannya untuk diikat. Hal ini bisa kita lihat di relief-relief candi, salah satunya di Borobudur, dimana digambarkan petani sedang memikul panenan padi berupa batang-batang padi yang diikat membentuk rumpun besar lalu dipikul dengan bambu.